Jumat, 06 Januari 2012

PMII

PARADIGMA PMII DALAM MENGAKTUALISASIKAN PEMIKIRAN DAN GERAKAN
(Telaah Terhadap Empowerment Society Menuju Civil Society )*

Pendahuluan
            Sebagai organisasi, PMII tentunya tidak berbeda dengan organisasi-organisasi lainnya, dimana untuk menjalankan roda organisasi dan bagaimana organissi mengambil sikap atas fenomena dan persoalan yang berkembang pada wilayah empiris. Maka diperlukan sebuah landasan, pedoman dan cara pandang. Pedoman, landasan atau cara pandang itulah yang dinamakan dengan paradigma. Paradigma menjadi sangat signifikan dalam sebuah organisasi karena merupakan sebuah ruh dari sebuah pergerakan untuk mnentukan sikap atas persoalan yang ada, baik persoalan internal organisasi maupun persoalan eksternal organisasi.
Paradigma dalam PMII menjadi penting dikarenakan paradigma merupakan cara dalam “mendekati” obyek kajian atau persoalan (The subject matter of particular discipline). Orientasi atau pendekatan umum (general orientations) ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun dalam kaitan dengan bagaimana “realita” dilihat untuk kemudian dianalisa. Dengan demikian PMII tidak akan buta dengan melihat realitas-empiris disela-sela hiruk-pikuknya persoalan yang ada, serta tidak bisu untuk melantangkan suara ketidak adilan yang terjadi dimana-mana.
Sehingga sangat tegas bahwa PMII telah memilih Paradigma Kritis sebagai dasar untuk bertindak (to act) dan mengaplikasikan pemikiran pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan sebuah analisa atas berbagai persoalan yang ada disekitar kita.


Mengapa Paradigma Kritis
            Dalam memilih paradigma kritis ini, tentunya mempunyai berbagai alasan yang mendasarinya,  antara lain :
Secara Internal, pertama; teori ini menerima pandangan tentang perlunya kategori imperatif paham ilmu-ilmu sosial yang sejalan dengan argumen yang mendukung interperatif. Dan model kritis menyetakan bahwa untuk memilki pokok bahasan (subjet matter) seorang harus mempunyai maksud dan keinginan para pelaku yang diamatinya dan juga aturan serta makna konstitutif tatanan sosial mereka. Untuk melakukan ini semua maka digunakan pola pikir kritis.
Kedua, Menghindari sebuah kegiatan yang mempunyai asumsi kebetulan. Yaitu dengan cara membongkar sistem hubungan sosial yang menentukan tindakan individu. Dalam bahasanya Paulo freire adalah kesadaran kritis (critical consciusns). Model berfikir kritis merupakan model yang menuntut bahwa para praktikusnya berusaha untuk menemukan kaidah kuasi-kausal darn fungsional tentang  tingkah laku sosial dalam konstalasi kehidupan sosial sehari-hari.
Ketiga,  Teori kritis bagaian dari ilmu-ilmu soaial yang dapat digunakan untuk mengeksplor tentang teori-teori ilmiah sekaligus dalam penyikapan terhadap realitas sosial yang berkembang.
Model berfikir paradigma kritis ini menganggap hubungan yang tersembunyi antara teori dan praktek sebagai salah satu titik tolaknya, dan ini berarti bahwa model ini mempertalikan pendirian pengetahuannya dengan pemuasan tujuan dan keinginan manusia.
Secara Eksternal, paradigma kritis sangat berfungsi bagi PMII, pertama; masyarakat indonesia adalah masyarakat plural (majemuk)  yang terdiri dari suku,,agama, ras (etnis) dan tradisi, kultur maupun kepercayaan. Pluralitas bangsa inilah yang menyimpan kekayaan akan konflik yang luar biasa. Disi lain ternya pluralitas terkadang dipahami sebagai pembatas (penghalang) ideoloi antara komunitas satu dengan komunitas yang lain. Kondisi seperti inilah akan lebih tepat digunakannya paradigma kritis, karena paradigma ini akan memberikan tempat yang sama (toward open and equal society)  bagi setiap individu maupun kelompok masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan kreativitasnya secara maksimal melalui dialog terbuka, transparan dan jujur. Dengan bahasa sederhananya “memanusiakan manusia”.
Kedua, masyarakat Indonesia saat ini telah terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern yang dapat mengakibatkan ketergantungan bagi masyarakat setiap adanya suatu perubahan (hanyalah meniru dan mengikuti) dengan asumsi siapa yang tidak melakukannya maka dia akan ditinggalkan dan dipinggirkannya oleh perkembangan jaman.  Hal ini tanpa disadari telah mengekang dan memandulkan  kesadaran rakyat untuk mengembangkan kreativitas dan pola pikir, dengan meminjam istilah Mark, bahwa kapitalisme inilah yang mengakibatkan manusia terasing (alienated) dari diri dan lingkungannya. Dalam kondisi inilah peradigma kritis menjadi keniscayaan untuk diterapkan.
Ketiga, selama pemerintahan Orde Baru, pemerintahan dijalankan dengan cara hegemonik-militeristik, yang mengakibatkan ruang publik masyarakat –atau dalam bahasa Habermas, public sphere menjadi hilang.  Dampak dari sistem ini adalah masyarakat dihinggapi budaya bisu dalam berkreasi, berinovasi, maupun melakukan pemberontakan. Lebih radikal lagi, seluruh potensi dan kekuatan pemberontakan atau jiwa kritisisme yang dimiliki telah dipuberhanguskan dengan cara apapun demi melenggangkan kekuasaan status quo negara. Melihat fenomena seperti ini maka perlu untuk dilakuknnya sebuah pemberdayaan (empowerment) bagi rakyatIndonesia sebagai artikulasi sikap kritik dan pemberontak terhadap negara yang totaliter – hegemonik. Untuk melakukan upaya empowerment, enforcemen (penguatan), sekaligus memperkuat civil society dihadapan negara melalui paradigma kritis sebagai pola pikir dan cara pandang masyarakat kita agar rakyat dan negara mmempunyai posisi setara (equal).
Keempat, menghancurkan paradigma keteraturan (order paradigm). Karena penerapan paradigma keteraturan ini, pemerintah harus menjaga harmoni dan keseimbangan sosial (sicial harmony), sehingga gejolak sekecil apapun harus diredam agar tidak mengusik ketenangan semu mereka. Dengan paradigma inilah masyarakat akan dijadikan robot yang hanya diperlakukan sana-kemari tanpa memberikan kebebasan mereka untuk berfikir dan berkreasi dalam mengapresiasikan kemauannya. Untuk melakukan pemberontakan atas belenggu dan kejumudan berfikir semacam itu, maka diperlukan paradigma kritis.
Kelima, masih kuatnya belenggu dogmatisme agama dan tradisi. Sehingga secara tidak sadar telah terjadi pemahaman yang distortif tentang ajaran dan fungsi agama. Lebih parah lagi ketika terjadi dogmatisasi agama sehingga kita tidak bisa membedakan lagi mana yang dianggap dogma dan mana yang dianggao sebagai pemikiran. Akhirnya agama terkesa kering dan kaku, bahkan tidak jarang agama menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara disisi lain agama hanya dijadikan komoditas kendaran atau lokomotif bagi kepentingan politik (kekuasaan) oleh kelompok tertentu. Dengan terma-terma agama, masyarakat menjadi terbius dan tidak mampu untuk melakukan kritik. Dengan demikian sangatlah perlu untuk mengembalikan fungsi dan ajaran agama. Upaya tersebut adalah dengan mengadakan rekontruksi/dekontrusi (pembongkaran) pemahaman masyarakat melalui paradigma kritis.  Dan harus diakui pula bahwa agama diposisikan sebagai poros moralitas dan mampu menjadi inspirator dalam moral forcement  dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sinilah agama akan benar-benar kembali kefitrohnya, yakni melahirkan dan menjaga perdamaian dimuka bumi.

Penerapan Paradigma Kritis
        Diatas telah banyak dikupas tentang mengapa digunakannya paradigma kritis dalam tubuh PMII sebagai eksplorasi pemikiran menuju tindakan. Maka dalam penerapannya  tetap akan melihat realitas yang terjadi dan sepenuhnya merupakan proses dialektika pemikiran manusia. Sehingga jangan heran ketika sahabat-sahabat PMII dikesankan oleh NU, sebagai komunitas yang tidak tahu etika dan tata krama terhadap orang tua (yakni orang tua NU). Meski secara struktur-organisatoris PMII tidak berada dibawah NU.
            Dalam hal ini paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka pikir (manhaj al-fikr) dalam analisis dalam memandang persoalan. Tentunya dia tidak dilepaskan dari ketentuan ajaran dan nilai-nilai agama. Dan bahkan ingin mengembalikan dan menfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya. Konteks inilah paradigma kritis tidak berkutat pada wilayah hal-hal yang bersifat sakral. namun lebih pada persoalan yang bersifat profan. Lewat paradigma kritis persoalan-persoalan yang bersifat profan dan sakral akan diposisikan secara propesional. Dengan kata lain paradigma PMII berusaha untuk menegakkan sikap kritis dalam berkehidupan dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi dan motifasi untuk melakukan kekhalifahan dimuka bumi (kholifah fi al-ardh).
            Setidak-tidaknya ada 3 (tiga) hal, yang harus dilakukan dalam mengaktualisasikan pemikiran menuju sebuah tindakan, yakni ; Pertama, mengadakan pembongkaran terhadap ideologi, dengan memberikan kebebasan dari semua rantai penindasan dalam kehidupan ekonomi maupun keimanannya. Pembongkaran-pembongkaran ini kiranya bisa dilakukan dengan berfikir secara kritis terhadap dogma-dogma. Masyarakat tidak begitu saja menerima ajaran agama yang disampaikannya, namun bagaimana masyarakat agama juga berhak melakukan tafsiran-tafsiran atas segala nilai dan pranata agama yang selama ini mereka anut.
            Proses kritisisme dan interpretasi atas ajaran agama bukan berarti memberikan peluang untuk memberikan peluang untuk menghancurkan agama itu sendiri, namun justru sebaliknya bagaimana agama ditempatkan pada posisi atas agar tidak digunakan oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Proses kritik ini tidak saja dilakukan terhadap dogmatisme agama, namun juga budaya, tatanan masyarakat, dan pemikiran-pemikiran sosial yang ada. Dengan berfikir kritis, maka akan terjadi dialektika dan dinamika dalam kehidupan.
            Kedua, menyingkirkan tabir hegemonik. Penyingkiran terhadap tabir hegemonik tidak hanya bermuara pada penguasa saja, namun juga tidak menutup kemungkinan pada kalangan NU sendiri atau yang lain. Untuk mengaplikasikan paradigma kritis ini tentunya PMII harus benar-benar menyatakan sikap perjuangannya untuk terlibat (involve) langsung dalam membangun bangsa dan negara dengan tetap memperjuangkan kepentingan rakyat banyak.
            Ketiga, Semangat religius Islam. PMII dalam membangun semangat kebangsaan dan pluralisme yang tetap berada dalam frame dan semangat religiusitas Islam dengan tidak meninggalkan wilayah sakral beragama, namun juga dapat masuk dalam wilayah profan agama. Sehingga dalam perjalanannya tidak akan terbentur dengan kelompok konservatisme yang didalamnya.   

Penutup
            Kiranya paradigma kritis bisa digunakan sebagai pola pikir dan cara pandang (manhaj al-fikr) yang mampu menerjemahkan  dan mentransformasikan  dalam kehidupan dan kemaslahatan umat agar tercipta kehidupan yang  tasamuh (toleransi), ta’adal (keadilan), tawazun (kesetaraan), dan dialogis (syuro) diantara sesama manusia.


Semoga bermanfaat